Minggu, 23 Maret 2014

Bapak by Rahma Nugrahaini

Assalamualaikum...
Ceritanya hari ini aku dan keluarga melayat saudara, seorang bulik di Banyumanik.
Meski sudah kurang lebih sebulan dari masa meninggalnya, namun kami memang 
baru bisa kesana. Kami berada di Kalimantan waktu itu, dan tidak bisa pulang.
Sedih... Tidak bisa mengantar bulik untuk yang terakhir kalinya.
Singkat cerita, Om Ali, istri bulik almarhumah, menceritakan setiap detail perjalanan 
sakit bulik sampai beliau tidak ada. Sungguh... Kami menunduk menahan haru. Air 
mata serasa sudah di penghujung mata, namun kami sekuat hati menahannya. Kami 
tidak ingin membuat Om dan keluarganya merasa sedih kembali.
Om Ali berkata, bahwa meskipun dalam rumah tangga mereka seringkali terjadi cek 
cok karena beda pendapat, namun setelah 25 tahun bersama dan kemudian ditinggal, 
beliau merasa menjadi pincang. Bahwa ada separuh dari dirinya yang hilang entah 
kemana.

Sampai rumah kurenungi cerita Om Ali tadi. Dan pikiran ini tiba- tiba kembali 
ke masa bapak tiada. Jelas sekali, memori- memori itu serasa film yang diputar di 
pelupuk mata. Saat bapak 9 bulan terbaring di tempat tidur tanpa bisa kemana- mana, 
saat bapak seringkali menangis sendiri membayangkan dirinya sendiri kalau sudah 
tiada nanti. Dan saat terakhir kali bapak dirawat di rumah sakit... Itu yang paling 
menyedihkan untuk diingat. Bapak masih sadar sepenuhnya saat meminta sendiri 
untuk dirawat di rumah sakit saat itu, karena merasa sudah tidak kuat lagi. Kami 
sekeluarga pun membawanya kesana, dengan harapan kondisinya membaik. Hal 
seperti ini bukan hal yang baru, karena sebelum itu bapak sudah seringkali bolak- 
balik ke rumah sakit.

Namun ada yang beda setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit saat itu...
Entah mungkin “visualisasi dunia lain” yang sudah membayangi entah apa, aku 
sendiri tak tahu jelasnya. Bapak mulai setengah “terbawa” ke bukan dunia fana. 
Mulai dari bapak merasa bahwa infus yang di sebelahnya adalah jam... Lalu saat 
bapak merasa tidur di atas air... Hingga saat bapak merasa ada kehadiran ibunya, 
yang puluhan tahun telah tiada. Kami mulai takut, mereka- reka sesuatu yang buruk, 
meskipun berusaha menepisnya dengan harapan baik.
Keesokan hari dari hari tersebut pun bapak masih sadar. Di pagi hari beliau 
menanyakan mengapa aku tidak berangkat ke sekolah. Dan aku bersyukur sekali, kala 
itu kujawab sambil tersenyum, “Iya pak, tidak sekolah. Di sini saja menemani bapak.” 
Sebenarnya ibu yang memintaku untuk tidak pergi sekolah, karena kondisi bapak 
yang memang sudah drop tersebut. Pagi itu kuingat betul bapak mau kusuapi biskuit, 
meski hanya sekitar satu setengah keping, tapi aku senang sekali. Akhirnya bapak 
mau makan. Bapak biasanya, di kala bugar, selalu mau makan enak. Namun saat itu, 
beliau seperti kehilangan selera makannya.

Rabu, 05 Maret 2014

Hidup Memilih Kehidupan

Hari ini aku kembali tersadar bahwa segala hal yang aku alami sampai detik ini adalah berkat pilihan-pilihan yang aku putuskan sebelumnya. Itulah hidup, dengan cerita yang berjalan atas pilihan untuk kehidupan.

Tuhan memberkahi kita dengan banyak bekal, terlahir sebagai lelaki atau wanita, dari keluarga muslim atau non muslim, terlahir dari keluarga kaya atau miskin. Semua itu sebagai pegangan awal untuk menentukan pilihan-pilihan berikutnya. Dan setiap pilihan mempunyai konsekuensi masing-masing.

Kini aku telah memilih pilihan-pilihan itu untuk menentukan jalan hidupku. Begitu pun hidup kita semua. Sedari kecil kita sudah memilih, memilih untuk menjadi anak yang rajin atau pemalas, memilih untuk berteman dengan siapa saja, memilih hobi-hobi kita, yang pada dasarnya pilihan-pilihan itulah yang menjadikan kita seperti sekarang.

Dan Tuhan pun turut membiarkan kita dengan pilihan-pilihan itu. Kita bebas memilih, mau beriman atau berdusta, mau berusaha atau miskin tanpa karya, serta mau berbaik sangka atau berburuk sangka. Semua itu pilihan. Namun, dalam menentukan pilihan, jangan sekali-kali menutup mata akan kebenaran yang ada, sebab kembali lagi, terdapat konsekuensi atas pilihan-pilihan itu. Pilihan yang salah akan berdampak tidak baik dalam hidup kita.

Hidup itu pilihan dan menjalankan konsekuensinya. Gaya hidup kita, lingkungan dan teman-teman kita, profesi kita, keimanan, dan ketaqwaan adalah bagian dari pilihan. Kehidupan kita yang sedang berjalan saat ini adalah berkat pilihan-pilihan di masa lalu. Sekarang kita dituntut menentukan pilihan-pilihan untuk masa depan kita. Bukalah mata, carilah kebenaran yang ada, dan tentukan pilihannya.