Kamis, 21 Mei 2015

The Meaningful Life: Memilih Gaji atau "Meaning"

Membaca artikel tulisan Prof. Rhenald Kasali soal “meaning” yang tersebar di media whatsapp kembali membangkitkan semangatku untuk menulis lagi. Aku ingin sedikit sharing soal “meaning”. Hal ini juga dipicu oleh beberapa teman kantor yang seketika mengajak diskusi setelah aku share artikel tersebut di grup whatsapp.

Ini adalah tulisan yang cukup berat bagiku, karena aku sendiri pun cukup bersusah payah menjalaninya. Banyak godaan yang kadang meracuni pikiran. Efek minimalnya paling cuma sekedar mengeluh, atau maksimalnya bisa stress dan menurunkan berat badan.

Bekerja di perusahaan besar, ternama, dan tentu dengan posisi dan gaji yang luar biasa merupakan impian banyak lulusan sarjana, terutama bagi mereka lulusan universitas ternama di Indonesia yang senior-senior atau bahkan teman-temannya bisa memperoleh posisi tersebut setelah lulus dari bangku kuliah. Begitu juga denganku, mendambakan dapat bekerja di perusahaan multinasional yang bergerak di bidang migas, selain gaji yang tentunya tidak dipertanyakan lagi, perkara gengsi juga terturuti. Namun, apalah aku sekarang. Ternyata jalan yang ditunjukkan Tuhan berbeda dengan apa yang kumau dan kuidam-idamkan.

Diterima di perusahaan swasta nasional, bergerak dalam bidang tower telekomunikasi, dan dengan gaji yang “cukup” tak pernah aku cita-citakan dan bahkan aku bayangkan sebelumnya. Tower Bersama Group, meskipun mengklaim sebagai perusahaan tower provider terbesar di Indonesia dengan segudang prestasinya, tetapi perusahaan ini menurutku belum mampu memberikan benefit yang “cukup” untuk pegawainya. Kata “cukup” sering aku berikan tanda kutip agar pembaca nanti bisa memberikan tafsiran sendiri.

Di periode awal aku bekerja dengan gaji yang “cukup” tersebut, aku merasa sering kekurangan. Dan bahkan sampai sekarang, meskipun secara besaran sudah naik sekitar 20% dari gaji pertamaku dulu, aku pun masih merasa belum “cukup”. Aku membuat semacam neraca sederhana untuk menghitung arus kasku, berapa pemasukan, pengeluaran, serta berapa yang harus aku tabung setiap bulannya. Sebenarnya gaji tersebut akan “cukup” dengan catatan, aku tidak tinggal di Jakarta, apalagi pusatnya Jakarta, serta mampu mengerem gaya hidupku. Aku gemar sekali jalan-jalan aka travelling, yang setiap kali jalan minimal bisa menghabiskan 300 ribu rupiah. Maksimalnya, silakan direka-reka tergantung destinasinya.

Untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanku tersebut, tidak jarang akhirnya aku harus berhutang kepada teman dan baru bisa mengembalikannya setelah gajian tiba. Hal ini tentu sangat memalukan, bagaimana bisa seorang bujang yang sudah bekerja dan memiliki penghasilan tetap, mengandalkan hutang untuk men”cukup”i keperluan hidupnya. Namun, hal positif yang bisa aku ambil adalah tak selamanya aku di posisi tersebut, sesekali teman-temanku yang memberikan aku pinjaman, mereka berbalik meminjam uang padaku. Aku merasa di detik itu kekeluargaan kita jusru  dipererat.

Dengan teman-teman yang boleh dibilang mempunyai kondisi senasib tersebut, aku sering berkeluh kesah, begitu pun mereka. Setiap bertemu, kami saling sharing dan memberikan semangat dan motivasi. Quote – quote hebat yang dimiliki masing-masing saling dikeluarkan. Hal ini yang membuat satu per satu mulai bangkit, yang tak jarang setelah beberapa hari, satu per satu juga mulai luntur lagi, termasuk aku.