Senin, 14 April 2014

Potensi Bagaikan Berlian, Perlu Asahan Agar Berkilauan

Era saat ini banyak sekali perorangan atau badan yang menjadikan sebuah pelatihan atau training sebagai bentuk pelecut diri untuk mengasah berbagai potensi, tak terkecuali sebuah badan usaha atau perusahaan. Training sendiri pada dasarnya terdiri atas 3 unsur yang pokok dan saling berkaitan, yaitu adanya trainer (pelatih), trainee (peserta), dan materi training. Sedangkan yang lain merupakan unsur pelengkap / komplementer. Sebuah perusahaan memberikan training kepada pegawainya dengan tujuan agar perusahaan tersebut mempunyai asset berupa sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan mampu mengembangkan bisnis perusahaan tersebut. Namun sayangnya, tak banyak perusahaan yang dapat dengan serius menjalankan program training ini dan memanfaatkannya dengan optimal.

Filosofi Berlian
"Potensi seseorang bagaikan sebuah berlian yang akan terlihat kilaunya setelah diasah."
Sebuah perusahaan tentu tidak akan sembarangan dalam merekrut calon pegawainya. Berbagai metode dan cara digunakan oleh perekrut handal untuk memperoleh SDM sesuai dengan kriteria yang diinginkan perusahaan. Setelah proses rekrutmen selesai, maka didapatlah pegawai baru yang berkualitas sesuai dengan kriteria yang dimaksud. Pegawai baru tersebut, terutama yang belum mempunyai pengalaman kerja, tentu dinilai mempunyai potensi yang luar biasa sehingga ia bisa lolos proses rekrutmen. Dan oleh karena itu, para pegawai baru diberikan kesempatan untuk mengikuti sebuah program pelatihan agar mereka mempunyai pengetahuan dan kemampuan kerja sesuai yang diharapkan. Dengan potensi awal yang dimiliki, diharapkan pegawai baru dapat menyerap ilmu yang diberikan dengan lebih cepat dan tepat.

Perlu menjadi perhatian bahwa potensi awal pegawai baru harus dipandang sebagai sebuah berlian, dimana berlian tersebut akan mampu memancarkan kilaunya dengan asahan. Asahan tersebutlah yang kita kenal dengan training. Dan trainer di sini bertugas memberikan asahan yang tepat bagi berlian agar dapat berkilau sesuai dengan yang diharapkan.

Menyapa Keluarga Baru (Kisah untuk Squad MDP VII TBIG)

Mungkin awal pertemuan kita bisa dibilang bukan awal yang terlalu baik, tapi juga bukan awal yang buruk. Semua terasa biasa saja, begitu singkat. Namun, semua berubah saat satu per satu mulai menunjukkan kepeduliannya, menjadikan sebuah hubungan pertemanan sebagai ikatan kekeluargaan, kepanjangan para penjaga di kampung halaman.

Hari hari pertama mungkin terlalu kaku untuk kita jalani, begitu juga untukku sendiri. Topeng-topeng yang indah dan rapi masih terpasang menutupi wajah diri. Kepribadian ini terselimuti tanpa ada saksi sebab kita memang datang dari perbedaan yang tak satu pun saling kenal. Namun, waktu menggiring kita ke dalam suasana baru, menghadirkan tawa ceria, menjadi bumbu penyedap materi-materi yang menggoyahkan iman kita, yaitu rasa kantuk dan bosan yang melanda. Perlahan, topeng-topeng mulai terbuka, ternyata benteng itu tak sekokoh yang kukira. Lalu, di depan kalian aku menahan tawa.

Entah kapan pastinya kita mulai akrab aku lupa. Aku hanya ingat kuis-kuis ringan yang kuberikan, yang mampu membuat kalian terbangun lamat-lamat karena rasa penasaran yang tak kunjung tamat. Namun yang aku tahu, kini kita sudah mulai lekat bagaikan atom-atom dalam reaksi kimia, bagaikan simpul-simpul tower yang terikat kuat.

Namun kawan, ternyata perjalanan kita tak selamanya seindah Cerita Romantika, tapi juga tak sekeruh Keluarga Cemara. Satu per satu mulai tumbang oleh ujian, bersedih atas cobaan yang diberikan. Tekanan demi tekanan mulai datang, menghadang.

Ikatan kita kini dipertaruhkan. Kita menyatu untuk maju, atau tumbang terhempas karang di lautan. Namun cobaan yang datang tak mampu menghalangi pandangan. Kita mampu bersatu saling menguatkan.

Minggu, 13 April 2014

Tekanan Mental Itu Beneran Ada Lho

“Kenapa sih, para senior itu selalu marah-marah dan berteriak seolah-olah mereka bukan kaum intelektual. Kita bisa kali diberitahu dengan cara yang halus.”

“Kenapa sih asisten itu ribet amat, sok teliti banget, ini itu salah, padahal cuma perkara tata tulis. Dikit-dikit asal coret.”

Pada mulanya kita hanya tahu kenapa saat kuliah dari masa kaderisasi sampai mau ujian sidang skripsi semua serba penuh tekanan. Mental kita benar-benar diuji. Kita dituntut untuk punya mental baja, bisa memberikan solusi dengan jalan yang kreatif dan tetap perfectionist meski ditekan mati-matian. Pada mulanya kita hanya diberitahu bahwa semua itu kelak akan sangat berguna bagi kita tanpa pernah tahu kapan manfaat itu bisa kita petik.

Sebenarnya saat kuliah pun kita sudah mendapatkan manfaatnya, sadar atau tidak, ternyata banyak juga para dosen yang dengan seenaknya meminta sesuatu dan semaunya mengatakan sesuatu, terdengar pedas dan menyakitkan. Hanya hal itu kadang tidak berlangsung lama sebab hati mereka masih sama seperti bapak atau ibu kita.

Namun, saat tiba di kehidupan professional, menempuh masa-masa dalam pekerjaan, ternyata hutan rimba itu benar-benar ada. Hal yang lumrah kalau seorang bos atau atasan menegur bawahannya dengan makian, kata-kata kasar, dan terkesan menjatuhkan. Hal yang lumrah saat usaha kita yang belum berhasil dibalas dengan sindiran dan kata-kata pedas yang tak enak didengar. Apabila target dan deadline sudah di depan mata, maka para bos itu hanya ingin tahu hasilnya saja tanpa proses yang mengiringinya.

Dunia kerja adalah dunia professional. Jangan terlalu berharap mendapatkan lingkungan  kerja sesuai dengan harapan kita. Orang-orang yang saling mengerti dan memotivasi, atasan yang selalu mendukung setiap langkah bawahannya, serta kebijakan perusahaan sesuai dengan isi hati. Tidak semua lingkungan perusahaan tampil mengagumkan seperti yang selalu kita idam-idamkan.

Kini aku sendiri sadar dan merasakan bagaimana manfaat dulu dibentak-bentak oleh senior, dipersulit oleh asisten, disindir oleh dosen. Semua sebagai bekal untuk aku tetap bertahan dalam lingkungan kerja yang keras ini.

Pilihannya hanya dua, bertahan atau bertandang? Bertahan dalam pekerjaan tersebut dan menunggu masa-masa indah itu tiba. Atau bertandang ke lahan pekerjaan yang lain dan selalu memulai sesuatu dari awal.

“Bahwa kehidupan itu adalah sebuah pertandingan,  pemenang adalah mereka yang kuat dan mampu bertahan sehingga akan merasakan manisnya hasil perjuangan. Semua akan indah pada waktunya. Dan sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang sabar.”

Sabtu, 05 April 2014

Merantaulah

"Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti saudara dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang."
(Imam Syafi'i)

Ada banyak alasan mengapa aku lebih memilih pekerjaan yang sekarang ketimbang menetap di kampung halaman. Meskipun di sana, aku bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih cukup. Meskipun di sana aku bisa memperoleh kenyamanan karena masih tinggal dan bergantung dengan kedua orang tua. Tapi aku mengingingkan yang lebih dari itu. Yang aku inginkan adalah tantangan hidup, pembelajaran tentang banyak hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.

Jakarta, kota ini jauh berbeda dengan Jepara. Tak perlu bicara soal lingkungannya, manusianya apalagi, sangat berbeda. Banyak kutemui orang-orang yang, maaf, bajunya lusuh, seorang ibu dan anak yang tertidur pulas di lorong jembatan busway. Seorang anak kecil yang membawa karung untuk mengangkut sampah-sampah dengan sandang yang compang-camping tak karuan, sedangkan yang lain berbaju dinas, rapi dan wangi, parasnya bersih dan menawan. Kesemrawutan Kota Jakarta tak perlu aku ceritakan lebih lanjut, hampir semua orang sudah mengetahuinya. Sudah menjadi rahasia umum.

Namun, kerasnya Jakarta justru memberikanku banyak pelajaran tentang kehidupan. Secara pribadi, aku terlatih untuk bisa lebih mandiri. Dan aku juga berharap, jiwa sosialku semakin bertambah ketika dihadapkan dalam kenyataan hidup yang penuh dengan ketimpangan sosial seperti ini.

"3 perbuatan yang paling mulia adalah: Kedermawanan di saat sempit harta, menjauhi perbuatan dosa di saat sendiri, dan berkata jujur dihadapan orang yang ditakutinya" (Imam Syafi'i)

Aku percaya bahwa siapapun yang menanam kebaikan maka ia akan menuai hasil kebaikannya itu. Di Jakarta ini, aku dipertemukan dengan banyak saudara dan kerabat baru. Mereka sangat baik padaku. Bahkan orang yang sebelumnya tidak pernah kukenal pun berlaku demikian. Ia begitu peduli dengan diri dan keselamatanku. Tak hanya dengan tutur kata dan nasihatnya, juga dengan perbuatannya.

Percayalah, masih banyak orang baik yang hidup di dunia ini. Sekeras apapun, dia masih punya hati dan perasaan yang bisa luluh dengan kebaikan. Maka, tebarkanlah kebaikan.