Jumat, 28 Juni 2013

Pesona Benteng Pendem

Suasana Benteng Pendem, Nusakambangan
Salah satu impianku ketika kuliah adalah mengunjungi rumah teman-teman kampus di kampung halaman masing-masing. Inspirasi ini aku peroleh dari kakakku, Erna, yang semasa kuliah lebih senang menghabiskan waktu liburnya untuk main ke rumah temannya di kampung halaman masing-masing atau naik gunung ketimbang pulang ke rumah. Aku juga sepakat dengannya, lumayan itung-itung mendukung salah satu hobiku, travelling. Namun sayangnya karena kesibukan di kampus, hanya 1-2 kota dan rumah teman yang sempat aku singgahi. Yang paling sering adalah Jakarta, ibukota Indonesia yang luar biasa itu.

Waktu itu aku dapat kabar bahwa salah satu seniorku di kampus akan melangsungkan pernikahan di Cilacap, dan kebetulan Cilacap juga tempat salah satu teman di kampus. Karena merasa suatu utang budi bahwa aku telah banyak mendapatkan ilmu dari senior tersebut, Mas Duta (Elektro’07) dan Mba Milly (Lingkungan’07), aku memutuskan harus datang di acara walimahan mereka berdua. Aku mengajak beberapa teman untuk pergi ke sana. Dengan menyewa sebuah mobil, akhirnya kami berempat, aku, Nisa, Dias, dan Tini berangkat ke Cilacap. Berangkat tengah malam dari Semarang, melewati jalur selatan, dan akhirnya sampailah kami di Kabupaten Cilacap.

Di sini aku akan bercerita tentang salah satu tempat wisata yang sempat aku kunjungi di Cilacap, ialah Benteng Pendem. Benteng Pendem berada pada jarak sekitar 3 km ke arah selatan pusat Kota Cilacap, bisa ditempuh hanya dengan 15 menit. Kompleks Benteng Pendem berada di area Pantai Teluk Penyu, tetapi atas saran dari salah satu warga sekitar, akhirnya yang menjadi rujukan kami adalah Benteng Pendem yang berada di dalam Pulau Nusakambangan bagian timur yang baru saja ditemukan dan dilakukan penggalian.
Untuk sampai di Pulau Nusakambangan, kami menggunakan perahu wisata. Setelah proses tawar menawar kami harus mengeluarkan uang Rp 15.000 per orang. Karena takut dengan perahu yang begitu kecil, kami memanfaatkan life jacket yang sudah disediakan. Tak lebih dari 15 menit akhirnya kami sampai di Pulau Nusakambangan.

Caraku Memandang Seni


Menurut Drs. Sulchan Yasyin, penulis buku Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, seni adalah sesuatu yang menggerakkan kalbu/hati. Aku setuju dengan pendapat beliau, ya, dengan seni, hati kita memang dapat bergerak untuk memerintahkan otak melakukan suatu respon. Respon yang positif atau negatif. Seni berhubungan dengan hati, rasa, atau perasaan. Seni mengantarkan manusia menemukan sifat dan jati dirinya. 

Mempelajari seni atau kesenian memang menyenangkan, termasuk bagiku. Dari kecil aku sudah dikenalkan oleh kedua orang tuaku tentang seni, terutama kesenian tradisional, seperti ketoprak, wayang kulit, tayub, dan gambus. Dan baru aku tahu, ternyata bapakku sewaktu muda adalah salah satu seniman gambus di Jepara.

Sedikit bercerita tentang pengalamanku berseni. Jiwa seniku sendiri telah terpupuk sejak kecil, dari usia balita, tapi aku tidak tahu di usia berapa, yang aku ingat hanya masa itu aku belum mengenyam bangku pendidikan taman kanak-kanak, mungkin sekitar usia 3 atau 4 tahun. Seni lukis aku peroleh dari ibu dan kakak-kakakku yang mengajarkanku tentang warna. Sedangkan untuk seni musik, aku peroleh dari tetanggaku, Alm.Mas Pudin, yang mengajariku banyak nyanyian waktu itu. Yang masih tertanam jelas dalam ingatanku, setiap pagi aku datangi rumahnya untuk belajar lagu-lagu anak-anak dan dangdut 90-an diiringi keyboard berwarna hitam. Berkat keterampilanku menyanyikan lagu-lagu dangdut, sewaktu kecil aku sering diminta tampil di depan umum. Antara malu dan bangga. Malu kenapa harus dangdut, yang notabene genre tersebut sekarang mulai memperoleh predikat miring. Dan bangga karena di usia yang masih sangat muda, aku sudah berani tampil di depan umum. 

Menginjak taman kanak-kanak, aku mulai suka menggambar, dan mulai berani bermain warna setelah masuk sekolah dasar. Dan di usia sekolah dasar itulah, aku belajar banyak tentang seni dan mulai mengeksplor apa yang aku punya. Aku belajar kaligrafi arab, ikut bergabung dalam grup rebana sebagai vokalis dan sesekali belajar nabuh terbang, aku juga jadi tahu lebih banyak tentang lukisan berkat guru sekolahku, mulai ikut-ikutan lomba melukis dan mewarna dari tingkat desa sampai kabupaten. Beberapa kali menyabet juara. Pernah juga menjadi juara harapan pada lomba rebana tingkat kabupaten. Aku mulai kenal lagu-lagu pop. Dan aku menjadi fans penyanyi sholawat Haddad Alwi dan Sulis, sampai-sampai aku mengoleksi semua album kaset yang mereka rilis.

Sabtu, 15 Juni 2013

Malaikat tanpa Sayap

Sahabat, tak pernah tercetus dalam benakku untuk mencari musuh bagiku
aku hanya ingin memerankan diriku sebagai bintang penerang langkahmu.
Aku hanya ingin seperti embun, yang tak perlu warna untuk menghiasi pagi
bening, begitu sederhana
Sahabat, pelbagai keputusasaan ini hanyalah hiasan
untuk hidup yang berujung
Aku hanya ingin menjadi malaikat tanpa sayap
yang menemanimu untuk meraup kebahagiaan
yang menemanimu dalam kesunyian
mendengarkan kisah hari-harimu yang mengagumkan.
Bayangan akan kematian yang datang hanyalah ilusi
untuk dunia yang fana ini.
Langkah kecilku memang tak pernah sanggup mengejarmu dalam angan-angan
namun setitik cinta yang kuberi, ada harap yang tiada tara
untuk selalu membuatmu tersenyum.
Tak pernah kudiajari untuk mematikan harapan
namun waktu ini tak cukup banyak untuk kubertahan dalam kekekalan
Karena yang kekal hanya milikNya, dimana semua akan kembali padaNya
Sahabat, jadikanku penerangmu
menemani setiap hembusan napasmu.
Kelak kita kan berjumpa lagi
karena sesungguhnya kita dekat,
maka jangan pernah berputus asa.