Rabu, 30 Oktober 2013

Perjalanan Mahasiswa Part III: The End of The Story

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Terlalu banyak kisah untuk diungkap, terlalu panjang untuk diulas.

Menjalani masa-masa menjadi mahasiswa seperti yang aku jalani memang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku dapat melewati lika-liku belajar di jurusan Teknik Industri Universitas Diponegoro. Melewati masa orientasi di semester awal, semester 2 yang penuh dengan kenyamanan, berbanding terbalik dengan semester 3 yang penuh dengan rintangan, kebangkitan pada semester 4, aktualisasi pada semester 5 dan 6, semester 7 yang mulai turun semangat, dan semester 8 yang penuh dengan tantangan.

Mungkin tak terbayangkan, ketika mengingat kata-kata kakak kelasku sewaktu SMA yang menyarankanku agar tidak kuliah di Semarang lantaran terbatasnya ruang untuk beraktualisasi. Namun, aku rasa hal itu tidak berlaku bagiku. Kini telah kubuktikan, semua itu tergantung pada individu masing-masing. Dan Tuhan Maha Adil, maka akan datang rahmatNya di mana pun berada. Di Undip, aku bisa memperoleh banyak hal. Aktif dalam organisasi mahasiswa, menjadi wakil ketua himpunan mahasiswa, menjadi asisten laboratorium, memperoleh beasiswa unggulan dengan segala bentuk fasilitasnya, menjadi salah satu delegasi training di luar negeri, dan segala bentuk aktivitas dan banyak hal yang aku peroleh selama masa kuliah. Hal itu cukup membuktikan bahwa aku mampu dan bisa mendapatkan itu semua.

Semarang memang bukan kota idaman bagiku. Teriknya matahari, sampah yang berserakan, sungai-sungai yang penuh dengan limbah, serta polusi membuatku tidak nyaman di kota ini. Namun, kini Semarang telah merubah banyak pemikiranku. Aku merasa nyaman sekarang di kota ini. Di samping kota yang mulai berbenah, di sini aku juga telah banyak mengukir banyak hal. Setiap sudut kota memberikanku cerita yang akan selalu indah untuk dikenang.

Separuh masa kuliahku aku habiskan bersama keluarga baruku, keluarga kecil yang tinggal di sebuah asrama TNI di Jangli. Mereka adalah keluarga dari ayahku, dan bagiku mereka adalah ayah, ibu, kakak, serta adik-adikku sendiri. Mungkin banyak yang bertanya kenapa aku bisa betah tinggal bersama mereka di rumah sempit dan berjajar-jajar itu. Bahkan mungkin pula tidak patut disebut rumah karena semua keterbatasan yang ada. Namun, ternyata kasih sayang itu merubah segalanya. Segala kekurangan menjadi kelebihan, segala beban menjadi tantangan, segala ketidaknyamanan tak menjadi penghalang, itu semua yang aku rasakan.

Asrama Ex Brigif V D/6 RT 05 RW 06 Jangli Banyumanik Semarang

Sabtu, 12 Oktober 2013

Horog-Horog: Si Kenyal dan Gurih dari Jepara

Horog-Horog dan Sate Cecek
Indonesia memang kaya akan keanekaragaman kuliner. Berbagai macam makanan dan jajanan khas tersebar di berbagai penjuru daerah di nusantara. Salah satunya adalah horog-horog. Makanan khas dari Bumi Kartini, Jepara, Jawa Tengah.

Mendengar nama horog-horog mungkin masih terasa asing di telinga. Selain itu namanya juga terdengar aneh. Namun, siapa sangka, makanan berbahan dasar tepung aren ini justru sangat nikmat dan gurih sehingga banyak diminati semua kalangan. Horog-horog mempunyai tekstur kenyal, berwarna putih bening, dan sedikit asin. Makanan tersebut juga merupakan salah satu alternatif makanan pokok pengganti nasi sebab kandungan karbohidratnya cukup tinggi.

Proses pembuatan horog-horog pun relatif rumit, perlu proses berulang dari pencucian, pengeringan, penggorengan, serta pengukusan sehingga memperoleh horog-horog bercita rasa gurih. Dalam proses pembuatan horog-horog pun harus memperhatikan faktor kebersihan, sebab kalau tidak bersih, horog-horog juga terlihat kotor dan mudah basi. Mitos yang berkembang, bahwa dalam proses pembuatan horog-horog, si pembuat juga harus mempunyai hati yang bersih, sebab apabila dalam kondisi marah dan tidak ikhlas, maka horog-horog yang dibuat akan tidak enak.