Selasa, 24 Juni 2014

Baduy Cihuy (Part II)


Menikmati malam di Cibeo menjadi pengalaman yang seru buatku. Terdapat sekitar seratus rumah di sana. Rumah-rumah itu tidak dilengkapi dengan lampu neon, penerangan hanya menggunakan lampu teplok, masing-masing hanya satu. Ketika malam tiba, semua aktivitas dihentikan. Paling hanya mengobrol dengan tetangga sekitar, selanjutnya bergegas istirahat untuk menyambut aktivitas keesokan harinya.

Aktivitas MCK semua dilakukan di sungai. Masyarakat Baduy Cibeo telah membagi area sungai menjadi dua bagian berdasarkan alirannya, yang pertama untuk buang air, dan yang kedua untuk mandi dan mencuci. Masing-masing sudah terpisah antara kaum laki-laki dan perempuan. Aku sendiri tidak mandi selama di Cibeo, hanya cuci muka, tangan dan kaki, begitu juga dengan Rian. Suasana ramah Cibeo membuat kami nyaman meskipun tanpa mandi. Bukan berarti ngeles karena malas mandi ya,hehe.

Semakin petang, Cibeo semakin penuh dengan rombongan wisatawan. Kurang lebih ada tiga ratus orang yang datang hari itu. Mungkin moment-moment seperti inilah yang mampu membuat Cibeo terasa hidup. Aku sendiri tak bisa membayangkan, bagaimana sunyinya Cibeo kalau tidak ada kami. Namun, meskipun malam itu cukup ramai. Aku tidak merasa terusik sebab homestay kami cukup jauh dari keramaian, aku sendiri bersama para rombongan lelaki tinggal di rumah Pak Sarip yang rumahnya terletak di gerbang Cibeo, sebenarnya bukan gerbang juga, tapi memang rumah keluarga Pak Sarip ini menjadi rumah pertama ketika memasuki Desa Cibeo. Sedangkan para wanita menempati kediaman Kang Jali dan satu rumah lagi. Kang Jali inilah yang menjadi pemandu kami selama di Cibeo.

Sudah di Cibeo rasanya kurang afdol kalau tidak menikmati malam di sana. Meskipun badan sudah sangat lelah dan harus segera diistirahatkan, tapi Mas Agus dengan semangatnya mengajak aku dan Rian jalan-jalan mengitari desa menikmati langit yang mengkristal. Dan kuputuskan untuk ke Alun-Alun (tanah lapang di pusat desa yang kemudian kami anggap sebagai alun-alun) untuk menikmati langit yang mengkristal itu.

Suasana malam di Alun-Alun begitu ramai penuh orang berlalu lalang menuju ke sungai untuk bersih diri. Kami putuskan untuk duduk di tengah-tengah menikmati langit sambil bercerita-cerita tentang banyak hal. Awalnya kami bertiga tidak mendapatkan kristal yang kami harapkan. Namun, kelamaan awan mendung yang menyelimuti langit menyibak membentuk garis oval, memperlihatkan bintang-bintang yang berkilauan. Subhanallah, betapa cantiknya langit malam itu. Bagaikan Kristal yang terukir indah di atas semesta. Aku teringat malam-malam indah di Karimun Jawa bertahun yang lalu.

Malam semakin larut, namun orang-orang masih banyak yang aktif bercengkerama satu sama lain. Karena rasa kantuk yang mulai terasa akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke homestay.

Senin, 23 Juni 2014

Baduy Cihuy (Part I)


Kepenatan dengan rutinitas pekerjaan memang kelamaan bisa menjadi sebuah penyakit yang apabila tak segera diobati maka akan berdampak fatal. Itulah sebabnya aku memilih travelling sebagai salah satu obatnya. Namun, ternyata travelling itu memang benar-benar menjadi candu, it’s addicted. Setelah dari Green Canyon Pangandaran beberapa minggu yang lalu, sekarang aku pergi ke Kabupaten Lebak Banten untuk melepas penat-penatku itu.

Ini semua berawal dari kegemaranku yang doyan sama travelling, lebih tepatnya kecanduan. Hehe. Tadinya aku mengajak Rian untuk touring ke Garut, tapi Rian punya tawaran lain yang lebih menggiurkan, Pantai Ujung Genteng Sukabumi. Rencana sudah disusun lumayan matang. Namun, rencana tinggallah rencana. Cuaca Jakarta yang beberapa hari terakhir yang kurang bersahabat akhirnya membuat temannya Rian yang sedianya membawa kami ke Ujung Genteng membatalkan dengan sepihak. Untuk mengobati kekecewaan kami, Rian yang inisiatif dan agresifitasnya cukup tinggi menawarkan Trip to Baduy Dalam bersama Wuki Travel. Ajakan tersebut langsung aku terima tanpa berpikir panjang.

Sabtu, 21 Juni, begitu subuh berkumandang kami segera siap-siap untuk menuju Meeting Point, Stasiun Duri. Rasa lelah sebenarnya masih terasa, sebab sampai jumat malam kami masih berkutat dengan aktivitas masing-masing di kantor padahal beberapa logistik yang harusnya dibawa belum terbeli. Suasana Jakarta pagi itu sangat mendukung, cerah dan lengang, mungkin juga karena masih sangat pagi. Kami berangkat ke St Duri melalui St Sudirman menggunakan Commuter Line.

Sesampainya di St Duri ternyata sudah banyak anggota kelompok travelling yang sudah sampai, Kami segera keluar stasiun dan bergabung dengan mereka. Sesi perkenalan, foto, dan doa sebelum pemberangkatan kami jalani. Dan medan perjuangan itu segera kami mulai.

Medan perjuangan, ya, aku lebih suka menggunakan kata-kata itu untuk tripku kali ini. Bagaimana tidak, memasuki gerbong kereta Rangkas Jaya jurusan Angke-Merak saja menurutku sudah perjuangan banget. Aku jadi teringat10 Mei 2010, perjalanan Semarang- Jakarta menggunakan kereta ekonomi untuk mengantar sahabatku Bagus Nugroho ke peristirahatan terakhirnya. Kereta yang meskipun sudah ber-ac itu terasa panas sebab terlalu penuh sesak oleh penumpang dan pedagang asongan. AC yang dipasang tak berfungsi semestinya. Suara gaduh pedagang menawarkan dagangannya, keluhan ibu-ibu, tangisan anak-anak balita memecah heningnya kereta pagi itu, mengalahkan alunan mesin khas kereta.

Setelah sekitar dua setengah jam perjalanan, akhirnya rombongan sampai di Stasiun Rangkas Bitung. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Ciboleger, kami diberi waktu untuk makan siang (sarapan - red) sambil menunggu teman-teman yang ketinggalan kereta. Ya, ada beberapa teman dari Karawang dan Bekasi yang ketinggalan kereta gara-gara si oknum yang telat bangun pastinya. Haha. Sepertinya cerita mereka bakal lebih seru.

Stasiun Rangkas Bitung, Lebak, Banten

Istirahat dirasa cukup, perut sudah kenyang, meskipun aku dan Rian tak makan juga lantaran kami berdua sudah meraup secuil roti, sedangkan para laters pun sudah datang. Kami pun segera melanjutkan perjalanan ke Ciboleger menggunakan mobil elf. Perjalanan dari Rangkas ke Ciboleger ditempuh sekitar dua jam, melewati jalanan naik dan turun. Panasnya Lebak ternyata mampu menidurkan kami, kecuali aku, karena aku duduk tepat menghadap pintu mobil jadi sedikit waswas kalau mau tidur.

Selasa, 03 Juni 2014

Membuncahkan Semangat dari Guha Bahu


Pangandaran, 31 Mei – 1 Juni 2014

Sudah lama rasanya aku tidak melakukan travelling. Selama di Jakarta, paling jauh tempat yang aku kunjungi ialah Anyer, itupun gegara perjalanan dinas dan tidak mampir ke pantainya. Selebihnya paling hanya main-main ke mall, Pantai Ancol, dan Monas. Padahal raga dan pikiran sudah letih dengan rutinitas kerja.

Aku bersyukur selama di Jakarta masih dikelilingi orang-orang yang baik hati, setelah kecewa menolak ajakan Mas Abra ke Bromo, ada si Dana yang mengajakku bergabung dengan kawan-kawan kampusnya ke Pangandaran. Kali ini aku diajak untuk merasakan Body Rafting ke Guha Bahu, Cukang Taneuh, Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.

Sedikit mengulas tentang Guha Bahu. Gua ini merupakan gua di pinggir ngarai yang terbentuk dari stalaktit. Guha Bahu berada satu area dengan wisata Green Canyon Pangandaran. Awalnya aktivitas wisata di Cukang Taneuh atau Green Canyon ini hanya sekedar menumpang perahu menyusuri sungai Cijulang menuju area terluar gua yang berupa susunan batu-batu besar. Sesampainya di area tersebut, wisatawan diijinkan untuk bermain air melawan arus air. Namun, akhir-akhir ini sudah dibuka arena wisata baru yaitu body rafting dimana pengunjung dibawa ke hulu menggunakan mobil bak terbuka kemudian menyusuri sungai dari hulu sampai ke hilir.

Jumat siang aku berpamitan dengan mentorku, Ms.Elizabeth, yang memang sehari sebelumnya aku sudah meminta ijin untuk pulang lebih awal di hari itu. Untungnya aku mendapatkan mentor yang selain baik, juga mempunyai hobi yang sama, jadi tidak perlu bersusah payah mendapatkan ijin. Bahkan sebelum aku pulang, aku diperlihatkan foto-fotonya waktu traveling ke sana. Kalau si Dana justru lebih beruntung lagi, kami mendapatkan manajer yang super baik, di hari kecepit itu dia diperbolehkan ijin cuti.

Pukul 3.30 sore Dana menjemputku di kos. Meeting point kali ini berada di Masjid Terminal Kampung Rambutan Jakarta Selatan yang jaraknya cukup lumayan dari Sudirman meskipun sama-sama di Jaksel. Itulah sebabnya aku ijin pulang duluan, sebab kami harus sampai di terminal sebelum jam tujuh. Tahu sendiri macetnya Jakarta seperti apa. Sejam menunggu busway tidak ada yang datang karena jalurnya penuh dengan mobil, yang paling ngeselin adalah melihat sebuah mobil polisi yang juga ikut-ikutan menjajah jalur busway. Hampir hopeless kami memutuskan untuk naik ojek, tapi karena harga tawar yang cukup tinggi kami mengurungkan niat, mencapai 80.000 rupiah seorang. Akhirnya tepat jam lima kami menemukan bus AC70 jurusan Tanah Abang – Kampung Rambutan, hanya dengan 9.000 rupiah dalam waktu satu jam kami sudah sampai di depan terminal.