Kamis, 26 September 2013

Simpler is Better: Cerita Singkat Menuju Sarjana

Perjalanan Mahasiswa Part II

Mungkin jika dibandingkan dengan yang lain, tugas akhirku tak ada apa-apanya. Tak ada rumus atau model yang rumit, tak ada uji statistik yang sulit, yang ada hanya analisis. Begitu sederhana. Tapi aku sangat bangga bisa membuatnya.

Ketika masuk semester VI, aku mengikuti mata kuliah “Lean Manufacturing System”, pengampunya Bu Ninik, sekretaris jurusan Teknik Industri. Dalam sela-sela mengajar, beliau menyinggung soal tugas akhir. Beliau mengatakan akan lebih baik membuat tugas akhir dengan tema yang baru, menurut beliau TA-TA yang ada di RBTI
(Ruang Baca Teknik Industri) itu sudah banyak yang basi, setiap tahun mahasiswa hanya mencontoh tugas akhir punya senior-seniornya, jarang sekali ada mahasiswa yang berani melakukan terobosan.

Pesan singkat itu membuatku memikirkan sesuatu. 2 hal yang aku rencanakan untuk tugas akhirku besok. Yang pertama, aku berniat untuk lebih santai saat mengerjakan tugas akhir nanti. Memang niat ini sedikit nakal, di saat yang lain ingin cepat-cepat selesai aku justru ingin berlama-lama. Aku ingin memanfaatkan waktu “luang”ku itu untuk “bersenang-senang”. Bagaimana tidak, kuliah di TI memang banyak menyita waktu. Ditambah aku aktif di beberapa organisasi kampus. Aku ingin bisa memantapkan bahasa inggrisku di Pare, aku juga berencana ikut student exchange, atau ikut magang di perusahaan di luar negeri. Bagiku selain bisa mendapatkan ilmu, kegiatan tersebut juga sangat menyenangkan, karena bisa jalan-jalan aka travelling aka piknik. Rencana yang kedua ialah mengambil tema yang unik dalam tugas akhirku besok sehingga aku tak perlu repot-repot “nyontek” kerjaan senior-seniorku. Aku ingin sesuatu yang beda. Meskipun aku tahu, resikonya mungkin aku akan sedikit kesulitan sebab tidak ada yang bisa dicontekin, terutama soal metode.

Selasa, 17 September 2013

Perjalanan Mahasiswa Part I

“Keyakinan seolah seperti indera keenam, melahirkan keajaiban”
Aku menentukan pilihanku sendiri dan Tuhan menyertai. Kuikuti alur mainnya. Dia membawaku ke sebuah cerita, penuh lika-liku, jalannya juga naik dan turun. Namun harus kulalui.

Sekitar empat tahun yang lalu, saat ramainya seleksi penerimaan mahasiswa baru tiba. Lewat PMDK atau seleksi tanpa tes yang hanya mengandalkan nilai rapor sampai semester V dan UM atau ujian tertulis secara regional. Sampai menjelang tes-tes UM dan PMDK beberapa universitas yang masuk ke sekolahku tiba, aku belum mempersiapkan apa-apa. Aku mencoba jalur PMDK UNS dengan memilih jurusan Teknik Arsitektur, tapi tidak diterima. Kucoba lagi jalur PMDK Undip dengan memilih jurusan Teknik Industri, tapi juga tak diterima. Dua kali gagal membuatku urung untuk menjadi seorang engineer, impianku sejak kecil karena lekatnya sosok Bung Karno sebagai insyinyur, tokoh idolaku waktu itu. Ketika UM Unnes dibuka, aku mencoba memilih jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Bahasa Jawa, keduanya kupilih karena aku juga penyuka sastra dan juga budaya. Menjadi seorang guru bagiku tak apa, pekerjaan yang mulia, mendidik para siswa. Namun, ibuku rupanya kurang setuju. Tepat di hari pengumpulan, aku batalkan niatku.

Hari itu UM Undip dan UGM dibuka, pendaftaran dengan deadline hampir bersamaan. Jujur aku masih ingin menjadi seorang insyinyur, yang terbayang hanya gelar itu. Aku memutuskan untuk memilih Teknik Arsitektur, tapi rupanya ibuku juga kurang setuju dengan berbagai alasan untuk menolaknya, termasuk juga keluargaku yang tiba-tiba jadi ikut-ikutan memberikan saran. Hanya Bapak waktu itu yang setuju. Sampai tibalah hari terakhir pendaftaran. Aku pergi ke warnet, sendirian. Bingung memutuskan berbagai pilihan jurusan, yang pasti teknik tentunya. Namun, yang jelas aku sudah memblack list beberapa jurusan, seperti Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Elektro, adalah alasannya. Aku cari informasi yang berkaitan dengan jurusan-jurusan selain ketiga jurusan itu. Mencoba meminta saran ke kakak-kakakku yang notabene sudah pernah menjadi mahasiswa pun sia-sia, tak ada masukan yang berarti, semua dikembalikan padaku. Memang sih, sebelumnya di keluargaku tidak ada yang mengambil jurusan teknik, kebanyakan mengambil pendidikan, kesehatan, atau TNI/Polri. “Dasar nggak kreatif”, dalam benakku. Akhirnya, setelah berbagai pertimbanganku sendiri kuputuskan Teknik Industri dan Keperawatan sebagai pilihanku dalam ikut UM Undip, dan Farmasi, Teknik Industri, dan Keperawatan dalam ikut UM UGM. Kalau tidak diterima di teknik, paling tidak aku bisa mengikuti jejak keluargaku, mungkin rejekiku memang di situ. Dalam hatiku, “Semoga Tuhan percaya padaku kalau aku lebih kreatif”.

Ibu melarangku untuk kuliah keluar dari Jawa Tengah. Alasannya, satu, aku anak terakhir dan tidak boleh jauh-jauh, takut kalau-kalau ada apa-apa. Yang kedua, khawatir kalau kangen. Sebenarnya itu hanya analisaku. Ibu tak pernah bilang alasannya. Tapi ibu hanya memberikan gambaran, “Kalau kuliah di Jakarta, biaya mahal, kehidupan sangat keras. Ibu pernah beberapa tahun tinggal di sana bersama budhe. Kalau di Surabaya atau Malang, banyak orang baik di sana, tapi orang tak baik pun tak kalah jumlahnya. Kalau baik, baik sekali, kalau tidak, maka akan sangat rusak”. Kurenungi kata-kata ibu. Kalau Bapak memang cenderung tidak memberikan batasan dan masukan, karena Bapak memang mempercayakan semua padaku, asal aku siap dengan segala resikonya. Begitu memang cara bapakku mendidik anak-anaknya.

Minggu, 15 September 2013

Semangat untuk Keluarga Baru TI'13

Hari jumat kemarin aku diminta oleh Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Himpunan Mahasiswa Teknik Industri untuk memberikan materi dalam acara yang mereka selenggarakan untuk para mahasiswa baru angkatan 2013. Acara akan dilaksanakan hari sabtu dan aku baru diberi tahu melalui pesan singkat pada jumat siang setelah sholat jumat. Awalnya permintaan itu sempat aku tolak dengan berbagai alasan, karena terlalu “tua”lah untuk mengisi acara, atau aku yang menginginkan agar pembicara dari angkatan 2010 atau 2011 saja sebagai bentuk regenerasi. Karena aku tak mau dikatakan sebagai pengkader yang gagal sebab sampai sekarang belum bisa melahirkan pembicara di jurusan sendiri. Padahal ketika masih menjabat sebagai pengurus himpunan, akulah yang menginisiasi menyelenggarakan acara Intensive Class Training bagi adik-adik staff dengan materi Good Public Speaking, baik sebagai Speaker maupun sebagai Master of Ceremony.

Aku didaulahi memberikan materi tentang organisasi, dan ternyata itu adalah materi pembuka pada jam 8.30 pagi. Jam segitu terlalu pagi bagiku yang notabene sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir. Sabtu pagi biasanya kugunakan untuk bersepeda atau bermalas-malasan di depan laptop, menonton televisi, atau membaca buku. Tidak seperti dulu ketika masih ada jam kuliah, sabtu pagi harus sudah berada di kampus untuk praktikum, atau memang karena ada kegiatan.

Salah satu alasan kenapa masih aku yang diminta menjadi pembicara adalah karena menurut para panitia aku memang salah satu contoh mahasiswa Teknik Industri yang mempunyai riwayat pengalaman organisasi yang cukup bagus. Padahal bagiku masih banyak orang lain, terutama teman-temanku seangkatan, yang mempunyai riwayat organisasi bahkan prestasi yang jauh lebih baik dariku. Dalam pikirku juga mungkin karena akulah salah satu senior yang tiada segan untuk dimintai tolong sebab aku memang dekat dengan para juinorku itu. Tapi tak mengapa, bagiku ini suatu kepercayaan dari adik-adikku, aku pun harus bisa memberikan contoh kepada mereka kalau mahasiswa aktivis harus siap kapan saja ketika dimintai tolong, apalagi sebagai pembicara yang memang sudah menjadi salah satu pekerjaan mahasiswa aktivis. Dan ini juga sebagai ajang bagiku untuk mengenal adik-adik baruku sekaligus memberikan sedikit pesan bagi mereka.

Rabu, 11 September 2013

Menjadi Generasi yang Punya Malu

Perhatikan baik-baik video di bawah ini, dengarkan dan cermati dengan seksama.


Sebagai Bangsa Indonesia, dan khususnya sebagai Orang Jawa, terlebih yang notabene sama-sama generasi muda harusnya kita malu dengan kondisi kita sekarang. Lihat saja, pemeran-pemeran drama di atas kebanyakan adalah pemuda, dalam hal ini adalah mahasiswa asing, yang datang dari luar negeri dan bukan orang pribumi. Namun, mereka mampu mengerti dan menggunakan Bahasa Jawa dengan baik dan benar. Bahkan kalau kita teliti, Bahasa Jawa yang digunakan merupakan Basa Krama (Krama Alus atau Krama Inggil) dimana bahasa tersebut mempunyai tingkatan paling tinggi dalam Bahasa Jawa, biasanya dituturkan antar orang yang saling menghormati atau antara anak kepada kedua orang tuanya atau orang yang dituakan.

Tentu kita sadar, fenomena yang terjadi selama ini. Di Jawa, khususnya di Jawa Tengah, banyak anak-anak yang kemampuan bahasa kramanya sangat kurang, sehingga dalam bertutur kata kepada kedua orang tuanya atau kepada orang-orang yang dituakan, seperti guru dan sebagainya, mereka justru menggunakan bahasa ngoko, dimana bahasa tersebut terkesan kasar, biasanya dituturkan kepada sesama, seumuran, atau orang yang sudah saling akrab. Atau sebagai pengganti bahasa krama, mereka menggunakan bahasa Indonesia agar terkesan sopan dan tetap menghormati. Entah siapa yang salah dalam hal ini. Orang tua yang tidak mengajarkan bahasa krama kepada anak-anaknya, atau memang sang anak yang terkesan kurang sadar dan peduli terhadap tata krama sehingga acuh tak acuh dengan tingkatan bahasa sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua. Dan terkadang berbeda cerita dengan kehidupan masyarakat urban yang tinggal di kota-kota besar, mereka lebih senang mengajarkan anaknya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sehari-hari supaya terlihat modern atau ingin praktis saja karena tidak perlu menghapalkan banyak kosa kata.

Namun, perlu diingat, baik Bahasa Jawa maupun bahasa daerah yang lain merupakan bahasa ibu yang perlu kita lestarikan. Bahasa daerah merupakan khasanah dan kekayaan bangsa kita yang juga tak ternilai harganya. Bahasa ibu tersebut juga menunjukkan jati diri kita sebagai bangsa timur yang mengedepankan sopan santun dan tata krama. Oleh karena itu, alangkah baiknya mulai dari sekarang kita biasakan diri kita menggunakan bahasa ibu, dan khusus Orang Jawa gunakanlah bahasa krama sebagai alat komunikasi dengan orang yang lebih tua yang harus kita hormati. Kalau kita hormat, orang lain juga akan menghormati kita, apalagi kedua orang tua kita.

Selasa, 10 September 2013

Berbakti Kepada Orang Tua

Tadi malam aku mendapatkan jarkom dan ajakan dari seorang teman untuk mengikuti aksi besar-besaran di Simpang Lima Semarang. Bagaimana tidak besar sebab aksi kali ini merupakan aliansi dari berbagai ormas dan ormawa Islam di Kota Semarang. Aksi tersebut rencana mengusung beberapa hal, yang salah satunya ialah penolakan terhadap acara pemilihan Miss World yang sekarang sedang berlangsung di Nusa Dua Bali. Sebenarnya untuk hal ini aku sendiri kurang setuju, meskipun tidak sering mengikuti pemberitaannya dan secara pribadi memang aku kurang suka dengan acara sejenisnya. Namun, aku lebih mengambil nilai positif yang tentunya akan menguntungkan, terutama bagi promosi pariwisata di Indonesia. Bagaimanapun sektor pariwisata menurutku lebih menguntungkan baik secara sosial ekonomi maupun sosial budaya dari pada sektor industri manufaktur yang sekarang sedang berkembang yang justru banyak menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan.

Namun, bukan poin tersebut yang akan aku bahas sekarang. Selama empat tahun menyandang gelar sebagai mahasiswa dan turut aktif berperan serta sebagai mahasiswa aktivis, bahkan sempat pula diberikan amanah menduduki posisi penting dalam lembaga mahasiswa, tetapi selama itulah aku belum dan mungkin tidak akan pernah merasakan “nikmatnya” aksi demonstrasi. Sebenarnya ketika mendapat pesan singkat dari seorang teman, yang sampai semester akhir seperti sekarang dia masih menjabat sebagai seorang petinggi ormawa, aku sempat berpikir untuk ikut dalam aksi yang akan berlangsung nanti dengan alasan sebagai “pelengkap” kiprahku sebagai mahasiswa. Namun, seketika aku langsung teringat dengan pesan ayahku dimana beliau melarang keras aku untuk tidak ikut serta dalam kegiatan aksi mahasiswa. Dalam telaahku pribadi ada beberapa faktor yang menyebabkan beliau melarangku untuk ikut aksi turun ke jalan. Dengan aksi yang biasa di media-media dikabarkan berjalan secara anarkis yang berujung bentrok antara mahasiswa dengan aparat, mungkin membuat ayahku merasa khawatir dengan keselamatan anak laki-laki satu-satunya ini. Atau mungkin karena ada alasan lain yang membuat ayahku berkali-kali meneleponku memastikan bahwa aku sedang tidak ikut serta ketika ada aksi yang berlangsung di Semarang. Yang pasti ayah memang melarang semua anaknya untuk ikut turun ke jalan saat demonstrasi berjalan. Namun, aku senang bahwa hal itu adalah salah satu bukti bahwa ayahku mencintai putra-putrinya.