Jumat, 28 Juni 2013

Caraku Memandang Seni


Menurut Drs. Sulchan Yasyin, penulis buku Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, seni adalah sesuatu yang menggerakkan kalbu/hati. Aku setuju dengan pendapat beliau, ya, dengan seni, hati kita memang dapat bergerak untuk memerintahkan otak melakukan suatu respon. Respon yang positif atau negatif. Seni berhubungan dengan hati, rasa, atau perasaan. Seni mengantarkan manusia menemukan sifat dan jati dirinya. 

Mempelajari seni atau kesenian memang menyenangkan, termasuk bagiku. Dari kecil aku sudah dikenalkan oleh kedua orang tuaku tentang seni, terutama kesenian tradisional, seperti ketoprak, wayang kulit, tayub, dan gambus. Dan baru aku tahu, ternyata bapakku sewaktu muda adalah salah satu seniman gambus di Jepara.

Sedikit bercerita tentang pengalamanku berseni. Jiwa seniku sendiri telah terpupuk sejak kecil, dari usia balita, tapi aku tidak tahu di usia berapa, yang aku ingat hanya masa itu aku belum mengenyam bangku pendidikan taman kanak-kanak, mungkin sekitar usia 3 atau 4 tahun. Seni lukis aku peroleh dari ibu dan kakak-kakakku yang mengajarkanku tentang warna. Sedangkan untuk seni musik, aku peroleh dari tetanggaku, Alm.Mas Pudin, yang mengajariku banyak nyanyian waktu itu. Yang masih tertanam jelas dalam ingatanku, setiap pagi aku datangi rumahnya untuk belajar lagu-lagu anak-anak dan dangdut 90-an diiringi keyboard berwarna hitam. Berkat keterampilanku menyanyikan lagu-lagu dangdut, sewaktu kecil aku sering diminta tampil di depan umum. Antara malu dan bangga. Malu kenapa harus dangdut, yang notabene genre tersebut sekarang mulai memperoleh predikat miring. Dan bangga karena di usia yang masih sangat muda, aku sudah berani tampil di depan umum. 

Menginjak taman kanak-kanak, aku mulai suka menggambar, dan mulai berani bermain warna setelah masuk sekolah dasar. Dan di usia sekolah dasar itulah, aku belajar banyak tentang seni dan mulai mengeksplor apa yang aku punya. Aku belajar kaligrafi arab, ikut bergabung dalam grup rebana sebagai vokalis dan sesekali belajar nabuh terbang, aku juga jadi tahu lebih banyak tentang lukisan berkat guru sekolahku, mulai ikut-ikutan lomba melukis dan mewarna dari tingkat desa sampai kabupaten. Beberapa kali menyabet juara. Pernah juga menjadi juara harapan pada lomba rebana tingkat kabupaten. Aku mulai kenal lagu-lagu pop. Dan aku menjadi fans penyanyi sholawat Haddad Alwi dan Sulis, sampai-sampai aku mengoleksi semua album kaset yang mereka rilis.

Di usia SMP, aku belajar bertilawah, selain di tempat ngaji di rumah, di sekolah aku juga bergabung dengan kelompok MTQ. Aku juga tergabung dalam tim paduan suara. Dan bersyukur, berkat lomba story telling yang meskipun hanya menduduki peringkat 4, aku dipercaya menjadi MC pelepasan wisudawan, kata guruku aku terpilih karena vocalku yang bagus. Kemampuanku membuat kaligrafi aku latih untuk menulis kaligrafi latin. Semenjak itu, aku dipercaya menjadi ketua tim lomba K3 antar kelas, dari kelas 1 SMP bahkan sampai SMA. Dan dipercaya juga oleh OSIS SMP untuk menjadi ketua redaksi madding sekolah dan menjadi Kabid Seni OSIS. Dan di bidang lukis dan kaligrafi ini, aku sering sekali menjuarai lomba lukis dan kaligrafi dalam event sekolah, seperti classmeeting. Bahkan untuk lukis, aku pernah menjadi juara di tingkat kabupaten. Selain itu, aku juga belajar seni bela diri karate, ya meskipun harus puas dengan sabuk putih, karena aku harus berhenti latihan gara-gara jamnya yang bentrok dengan latihan pramuka. Aku juga belajar seni ukir yang menjadi muatan lokal sekolah, dan hasil karyaku bisa dibilang menjadi karya paling laris saat pameran di sekolah. Dan berkat kurikulum, aku juga belajar membaca not balok, seni rupa, dan belajar bermain seruling. 

Ketika SMA, aku mencoba ikut kegiatan seni, ada paduan suara dan juga teater. Namun, keduanya tak sampai tamat sebab aku disibukkan di kegiatan lain, karena aku juga aktif di kelompok karya ilmiah, pramuka, dan aku juga menjabat sebagai ketua OSIS. Namun, aku sangat senang, karena kurikulum di sekolahku memberikan ruang untuk siswanya tetap belajar seni. Aku belajar tari tradisional, modern dance, dan seni membatik. Dan untuk seni tari, kelompokku harus mendatangkan pelatih professional agar nilai kami maksimal. Namun sayang, semenjak SMA aku tidak lagi menggeluti seni lukis. Aku beralih membuat puisi dan naskah drama sederhana, yang dulu terkumpul banyak di PC yang sekarang sudah berpindah tangan. Kegemaranku menulis puisi membawaku memperoleh juara 2 tulis puisi pada Pertinas Bahari di Situbondo. Tapi lagi-lagi berkat kurikulum, aku belajar seni proyeksi. Dan karena itulah, aku sempat bercita-cita menjadi seorang arsitek. Selain karena gelar Ir yang sama dengan Ir.Soekarno, idolaku, juga karena nilai seni dalam pekerjaan itu.

Sekarang aku telah berada di bangku kuliah. Pengalamanku tentang seni telah bertambah banyak. Masa-masa kuliah aku mempunyai lebih banyak ruang untuk berekspresi, aku biarkan diriku berkelana menjamah banyak tempat yang kuanggap menginspirasi. Dari dulu hobiku memang jalan-jalan atawa travelling. Dan sejujurnya aku lebih suka menghabiskan uangku untuk pergi melancong ke tempat wisata daripada pergi ke mall atau bioskop untuk nonton film. Aku suka Jogja, Bali, Bandung, dan Kuala Lumpur, kota-kota tersebut bagiku sangat menginspirasi. Aku suka Paris dan aku berharap bisa segera kesana. 

Perjalanan hidupku kukira memang tidak berjalan biasa saja, tetapi banyak lika-likunya. Selain bertugas (belajar-red) aku juga menghabiskan waktuku untuk bersosialisasi dengan banyak orang, dengan berorganisasi dan mengikuti berbagai komunitas. Pengalamanku mungkin menjadi salah satu kunci agar bisa berhasil dan survive dalam lingkunganku. Tapi jauh sebelum hadir pengalamanku, aku gunakan seni untuk menaklukkan lingkunganku. Ya, menggunakan prinsip seni dalam hidup mutlak perlu. Kalau kata Dik Doang, antara agama dan seni lebih dahulu muncul seni di muka bumi, untuk itu gunakanlah seni untuk berdakwah, gunakanlah seni dalam meraih ridlo Tuhan. Benar juga, sebelum mengenal agama, manusia terlahir dengan seni, maka muncullah animisme-dinamisme dimana manusia menyembah roh-roh dan patung/berhala dengan berbagai kata-kata atau mantra, gerakan atau tarian, dan iringan alat musik. Setelah itu, baru muncul agama untuk memberikan petunjuk bagi manusia supaya menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Aku menggunakan seni untuk hidup. Kugunakan seni untuk bergaul dengan sesama. Seni dalam bersikap dan seni dalam berkata-kata. Seni inilah yang mampu membuka hati manusia sehingga keberadaan kita dapat dirasakan oleh lainnya. Lewat seni, orang-orang merasa nyaman dengan kita. Oleh karena itu, tepat jika seni adalah sesuatu yang menggerakkan kalbu/hati manusia. Karena dalam menjalin silaturahim, hal pokok adalah kesesuaian hati. 

Seni erat kaitannya dengan etika dan estetika. Etika merujuk pada cara, sedangkan estetika menggambarkan keindahan. Seni harus memiliki kedua unsur tersebut. Ketika seni dihubungkan dengan etika, seni haruslah dilakukan dengan cara-cara yang baik. Oleh sebab itu, pada awal pembahasan menyebutkan respon seni, yang berupa respon positif dan negatif. Menurut Prof. Mutawalli Asy Sya’rawi dalam bukunya “Anta Tas’alu wa Islaamu Yujiibu”, Islam memandang seni (pahat, lukis, dan foto) sebagai hukum jaiz, artinya dibolehkan asal tidak merusak moral dan akhlak manusia dan semata dimaksudkan hanya untuk keindahan dan kecantikan. Karena Allah SWT juga senang terhadap hal-hal yang indah dan cantik. Berdasarkan pemaparan tersebut, aku menghimbau agar dalam berseni kita tetap memprioritaskan hal-hal positif. Tidak ada alasan membebaskan pornografi atas dasar seni karena pornografi adalah ancaman bagi akhlak manusia. 

Begitulah aku memandang seni. Dengan seni kita bisa tertawa, dengan seni kita bisa merasa, dan dengan seni kita pun bisa binasa. Mari kita manfaatkan seni untuk hal-hal positif, agar kita juga meraih nilai-nilai positif darinya. Terlebih kita gunakan seni sebagai benteng hidup di era “akhir” seperti ini. Bersolek adalah seni, bertutur kata adalah seni, bersikap adalah seni, dan menuangkan pikiran lewat tulisan juga seni. Hiduplah dengan berseni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar