Senin, 05 Agustus 2013

Jalan dari Tuhan

Waktu menunjukkan pukul 04.30. Setelah bangun, aku bergegas ambil air wudlu dan bersiap pergi ke masjid. Ku kayuh sepeda tuaku menuju masjid yang berjarak sekitar setengah kilo dari rumah. Selama dalam perjalanan, kutemui beberapa orang yang sudah mulai beraktivitas. Kutemui seorang petani, kusapa lalu dibalasnya dengan senyum, kusapa seorang nelayan lalu dibalasnya dengan sapaan pula.

Sesampainya di masjid, kupakirkan sepedaku. Terlihat di seberang, sebuah gereja. Kebetulan di desaku masjid dan gereja saling berhadapan, hanya terpisah oleh jalan kecil beraspal. Kulihat, seorang lelaki sedang menutup pintu gereja. Sepertinya ia akan pergi. Tak lama, kupalingkan perhatianku untuk segera masuk ke dalam masjid.

Di dalam masjid kulihat masih sepi, hanya seorang lelaki tua dengan tasbihnya, kurasa ia sedang berzikir dengan khusyuk. Aku melangkah menuju mimbar. Karena sudah waktunya azan, aku pun berinisiatif mengambil mikropon untuk mengumandangkan azan, berseru kepada umat untuk bangkit kepada Penciptanya. Namun, belum sempat aku mengambilnya, seorang lelaki paruh baya menyelaku, dengan senyum berisyarat ia yang akan mengumandangkan azan. Maka dengan ikhlas hati kupersilakan ia, mungkin itu menjadi tugasnya pagi ini.

Setelah sholat subuh selesai. Aku memutuskan untuk berdiam sejenak di masjid, mengambil sebuah kitab yang sudah lama ingin aku baca. Aku duduk di serambi sambil menunggu semburat mentari. Beberapa saat ketika mulai lelah membaca, aku pun termenung. Di sela-sela diamku, aku memandang gereja dengan tatapan kosong. Seorang lelaki tengah sibuk membersihkan gereja. Rasa penasaran tiba-tiba muncul, aku mencoba mendekat dan mencari tahu siapa dia.

Dari pagar masjid, kulihat dengan jelas siapa lelaki itu, ternyata dia adalah lelaki paruh baya yang mengumandangkan azan subuh tadi. Aku tertegun. Kudekati dia, rasa penasaran memberanikan kubertanya padanya. Rupanya dia adalah seorang yatim, ia menggantikan tugas almarhum ayahnya untuk menjaga dan membersihkan gereja, sementara ibunya yang sedang sakit parah hanya bersama adik kecilnya di rumah. Ayahnya dulu memang seorang nasrani, sementara ibunya seorang muslimah. Kedua orang tuanya tak pernah memaksanya, ia diperbolehkan menentukan pilihannya sendiri, termasuk dalam beragama.

Sebagai muslim yang taat, ia tak keberatan harus mengabdi untuk gereja. Baginya, semua yang ia jalani adalah karunia. Mungkin ini jalan Tuhan memberinya rizki sehingga ia mampu membeli obat untuk ibu dan membiayai sekolah adiknya.

Kita memang tak pernah tahu bagaimana Tuhan menentukan jalan bagi umatNya, namun bagaimana jalan yang ditunjukkan Tuhan untuk kita, selalu ada rahmat yang senantiasa mengalir di dalamnya. Ia, Allah, yang mengajarkan kita kasih sayang dan perjuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar