Selasa, 17 September 2013

Perjalanan Mahasiswa Part I

“Keyakinan seolah seperti indera keenam, melahirkan keajaiban”
Aku menentukan pilihanku sendiri dan Tuhan menyertai. Kuikuti alur mainnya. Dia membawaku ke sebuah cerita, penuh lika-liku, jalannya juga naik dan turun. Namun harus kulalui.

Sekitar empat tahun yang lalu, saat ramainya seleksi penerimaan mahasiswa baru tiba. Lewat PMDK atau seleksi tanpa tes yang hanya mengandalkan nilai rapor sampai semester V dan UM atau ujian tertulis secara regional. Sampai menjelang tes-tes UM dan PMDK beberapa universitas yang masuk ke sekolahku tiba, aku belum mempersiapkan apa-apa. Aku mencoba jalur PMDK UNS dengan memilih jurusan Teknik Arsitektur, tapi tidak diterima. Kucoba lagi jalur PMDK Undip dengan memilih jurusan Teknik Industri, tapi juga tak diterima. Dua kali gagal membuatku urung untuk menjadi seorang engineer, impianku sejak kecil karena lekatnya sosok Bung Karno sebagai insyinyur, tokoh idolaku waktu itu. Ketika UM Unnes dibuka, aku mencoba memilih jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Pendidikan Bahasa Jawa, keduanya kupilih karena aku juga penyuka sastra dan juga budaya. Menjadi seorang guru bagiku tak apa, pekerjaan yang mulia, mendidik para siswa. Namun, ibuku rupanya kurang setuju. Tepat di hari pengumpulan, aku batalkan niatku.

Hari itu UM Undip dan UGM dibuka, pendaftaran dengan deadline hampir bersamaan. Jujur aku masih ingin menjadi seorang insyinyur, yang terbayang hanya gelar itu. Aku memutuskan untuk memilih Teknik Arsitektur, tapi rupanya ibuku juga kurang setuju dengan berbagai alasan untuk menolaknya, termasuk juga keluargaku yang tiba-tiba jadi ikut-ikutan memberikan saran. Hanya Bapak waktu itu yang setuju. Sampai tibalah hari terakhir pendaftaran. Aku pergi ke warnet, sendirian. Bingung memutuskan berbagai pilihan jurusan, yang pasti teknik tentunya. Namun, yang jelas aku sudah memblack list beberapa jurusan, seperti Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Elektro, adalah alasannya. Aku cari informasi yang berkaitan dengan jurusan-jurusan selain ketiga jurusan itu. Mencoba meminta saran ke kakak-kakakku yang notabene sudah pernah menjadi mahasiswa pun sia-sia, tak ada masukan yang berarti, semua dikembalikan padaku. Memang sih, sebelumnya di keluargaku tidak ada yang mengambil jurusan teknik, kebanyakan mengambil pendidikan, kesehatan, atau TNI/Polri. “Dasar nggak kreatif”, dalam benakku. Akhirnya, setelah berbagai pertimbanganku sendiri kuputuskan Teknik Industri dan Keperawatan sebagai pilihanku dalam ikut UM Undip, dan Farmasi, Teknik Industri, dan Keperawatan dalam ikut UM UGM. Kalau tidak diterima di teknik, paling tidak aku bisa mengikuti jejak keluargaku, mungkin rejekiku memang di situ. Dalam hatiku, “Semoga Tuhan percaya padaku kalau aku lebih kreatif”.

Ibu melarangku untuk kuliah keluar dari Jawa Tengah. Alasannya, satu, aku anak terakhir dan tidak boleh jauh-jauh, takut kalau-kalau ada apa-apa. Yang kedua, khawatir kalau kangen. Sebenarnya itu hanya analisaku. Ibu tak pernah bilang alasannya. Tapi ibu hanya memberikan gambaran, “Kalau kuliah di Jakarta, biaya mahal, kehidupan sangat keras. Ibu pernah beberapa tahun tinggal di sana bersama budhe. Kalau di Surabaya atau Malang, banyak orang baik di sana, tapi orang tak baik pun tak kalah jumlahnya. Kalau baik, baik sekali, kalau tidak, maka akan sangat rusak”. Kurenungi kata-kata ibu. Kalau Bapak memang cenderung tidak memberikan batasan dan masukan, karena Bapak memang mempercayakan semua padaku, asal aku siap dengan segala resikonya. Begitu memang cara bapakku mendidik anak-anaknya.


Sebelum naik kelas XII, aku sempat didatangi seorang senior yang kuliah di UI. Olehnya aku disarankan untuk tidak berkuliah di Semarang, nanti tidak berkembang. Kata-katanya juga cukup menggantung-gantung di pikiranku. Kalau di Undip atau UGM tidak diterima, aku mau mencoba UI. Tapi untuk ke sana aku juga butuh banyak pertimbangan, faktor orang tuaku yang memang sudah tua jadi pikiranku. “Aku nggak mau jauh-jauh dari mereka. Tapi aku nggak mau kuliah di swasta, itu akan menambah beban kedua orang tuaku karena biayanya juga tentu sangat mahal.”

“Keyakinan seolah seperti indera keenam, melahirkan keajaiban”. Entah kenapa, ibu tiba-tiba mantap kalau aku akan kuliah di Undip. Kalau diingat-ingat sewaktu tes UM Undip, aku melakukan hal bodoh yang membuat aku putus asa untuk bisa masuk Undip dan berusaha keras dalam tes UM UGM. Tanpa membaca petunjuk soal dengan jelas, aku mengisi semua lembar jawab. Aku juga memarahi teman-teman yang duduknya di sekitarku supaya mereka mengisi semua lembar jawab. Setelah waktu mengerjakan soal selesai, salah seorang temanku menanyaiku apakah aku mengisi semua atau tidak karena berdasarkan soal UM Undip tahun sebelumnya memakai aturan nilai +1 untuk jawaban benar dan tidak ada pengurangan untuk jawaban salah. Sedangkan, tes UM Undip tahun itu memberlakukan aturan baru, yaitu +4 untuk jawaban benar dan -1 untuk jawaban salah. “Oh Tuhan, betapa cerobohnya aku”. Hal itu yang membuatku pesimis bisa diterima di Undip lewat UM1. Namun, ibu berkeyakinan lain dan keyakinan ibu jugalah yang mendorongku untuk ikut yakin. Hari ke-4 Ujian Nasional, UM1 Undip diumumkan, dan hasilnya aku diterima sebagai mahasiswa Undip jurusan Teknik Industri. Rasa syukur tiada terbendung dan menambah semangat untuk Ujian Nasional terakhir di keesokan harinya. Kedua orang tuaku juga ikut senang dengan hasil ini. Tak pernah terbayang sebelumnya, aku akan tinggal lama di Kota Semarang, kota yang tak begitu aku suka, karena panasnya, kotornya, dan ruwetnya.

Beberapa hari kemudian hasil UM UGM diumumkan, dan ternyata aku gagal. Tidak terlalu masalah bagiku sebab aku sudah diterima di Undip dan teknik. Aku juga tidak perlu repot-repot  mengikuti SNMPTN seperti kebanyakan teman-temanku. Persaingan akan sangat kejam mengingat ujian tersebut diikuti oleh peserta yang jumlahnya jutaan dari semua Kota/Kabupaten di seluruh penjuru Indonesia.

Singkat cerita, setelah wisuda SMA. Aku bersama ibu ditemani pamanku pergi mencari kamar kos untuk tempat tinggal. Kami mencari di daerah yang sangat dekat dengan kampus, meskipun jarak terdekat antara rumah kos dengan kampus Undip paling tidak 1 kilometer. Akhirnya, berkat bantuan seorang kakek, kami menemukan rumah kos tepat di pinggir sungai, meskipun tidak terlalu bagus karena kecil dan masih setengah jadi, tapi terlihat adem dan nyaman. Karena aku terhitung datang terlambat, aku hanya kebagian sebuah kamar berukuran 2 kali 3 meter seharga 150 ribu per bulan. Tak mengapa bagiku, sebab selain bisa irit biaya, aku juga sudah sreg sama pemilik kos. Bu Tarmi dan Pak Yoto namanya. Bu Tarmi dalam kondisi hamil muda. Mereka mempunyai 3 orang anak, si bungsu bernama Heri masih duduk di bangku SMP, Dina masih duduk di bangku SD, dan Rizal yang masih berusia 2 tahun.

Suasana Kamar Kos

Selama di rumah kos Bu Tarmi, aku merasakan indahnya bertemu dengan keluarga baru. Keluarga ini sangat baik dan hangat padaku, termasuk teman-teman satu kosku. Aku mempunyai 2 orang teman yang berada dalam satu rumah kos, Mas Udin jurusan Kesehatan Masyarakat dan Mas Arju dari Teknik Mesin yang jarang sekali tidur di kos dengan alasan banyak tugas. Waktu itu memang meskipun sudah semester 3, Mas Arju masih menjalani proses kaderisasi.


Bu Tarmi sangat baik kepada kami, anak-anak kosnya. Selama bulan ramadhan, kami tidak perlu keluar duit untuk makan sahur dan berbuka sebab sang pemilik kos telah menyiapkan makanan untuk kami dengan gratis. Kami memang makan seadanya, seperti apa yang dimakan oleh keluarga Bu Tarmi. Tapi bagi kami itu sangatlah cukup sebab selain tidak perlu mengeluarkan duit, kami juga tak perlu bersusah payah mencari dan mengantre untuk mendapatkan makanan. Saking baiknya, pernah suatu ketika saat aku sakit karena kecapaian, Bu Tarmi juga yang merawatku, membuatkanku makanan, susu, dan membelikan obat. Begitupun Mas Udin yang juga baik dan perhatian padaku, dia menganggapku selayaknya adik sendiri. Mungkin nalurinya sebagai anak pertama dan aku sebagai anak bontotlah yang membuat kami akrab seperti kakak-adik.

Mas Udin, sosok yang pandai, rajin, dan religius. Dunia begitu sempit, ternyata Mas Udin adalah senior dari temanku, siswa SMA 1 Sukoharjo yang dulu kutemui saat Pemilihan Duta Bahasa. Banyak hal yang sering kami bahas di awal-awal semester, kami juga tampak nyambung karena selain pandai, Mas Udin juga aktif dalam kegiatan sekolah sehingga kami sering banyak bertukar pengalaman. Mas Udin jugalah yang menjadi alarmku saat adzan subuh tiba, dia membangunkanku sampai aku benar-benar bangun dan segera mengambil air wudlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar