Senin, 23 Juni 2014

Baduy Cihuy (Part I)


Kepenatan dengan rutinitas pekerjaan memang kelamaan bisa menjadi sebuah penyakit yang apabila tak segera diobati maka akan berdampak fatal. Itulah sebabnya aku memilih travelling sebagai salah satu obatnya. Namun, ternyata travelling itu memang benar-benar menjadi candu, it’s addicted. Setelah dari Green Canyon Pangandaran beberapa minggu yang lalu, sekarang aku pergi ke Kabupaten Lebak Banten untuk melepas penat-penatku itu.

Ini semua berawal dari kegemaranku yang doyan sama travelling, lebih tepatnya kecanduan. Hehe. Tadinya aku mengajak Rian untuk touring ke Garut, tapi Rian punya tawaran lain yang lebih menggiurkan, Pantai Ujung Genteng Sukabumi. Rencana sudah disusun lumayan matang. Namun, rencana tinggallah rencana. Cuaca Jakarta yang beberapa hari terakhir yang kurang bersahabat akhirnya membuat temannya Rian yang sedianya membawa kami ke Ujung Genteng membatalkan dengan sepihak. Untuk mengobati kekecewaan kami, Rian yang inisiatif dan agresifitasnya cukup tinggi menawarkan Trip to Baduy Dalam bersama Wuki Travel. Ajakan tersebut langsung aku terima tanpa berpikir panjang.

Sabtu, 21 Juni, begitu subuh berkumandang kami segera siap-siap untuk menuju Meeting Point, Stasiun Duri. Rasa lelah sebenarnya masih terasa, sebab sampai jumat malam kami masih berkutat dengan aktivitas masing-masing di kantor padahal beberapa logistik yang harusnya dibawa belum terbeli. Suasana Jakarta pagi itu sangat mendukung, cerah dan lengang, mungkin juga karena masih sangat pagi. Kami berangkat ke St Duri melalui St Sudirman menggunakan Commuter Line.

Sesampainya di St Duri ternyata sudah banyak anggota kelompok travelling yang sudah sampai, Kami segera keluar stasiun dan bergabung dengan mereka. Sesi perkenalan, foto, dan doa sebelum pemberangkatan kami jalani. Dan medan perjuangan itu segera kami mulai.

Medan perjuangan, ya, aku lebih suka menggunakan kata-kata itu untuk tripku kali ini. Bagaimana tidak, memasuki gerbong kereta Rangkas Jaya jurusan Angke-Merak saja menurutku sudah perjuangan banget. Aku jadi teringat10 Mei 2010, perjalanan Semarang- Jakarta menggunakan kereta ekonomi untuk mengantar sahabatku Bagus Nugroho ke peristirahatan terakhirnya. Kereta yang meskipun sudah ber-ac itu terasa panas sebab terlalu penuh sesak oleh penumpang dan pedagang asongan. AC yang dipasang tak berfungsi semestinya. Suara gaduh pedagang menawarkan dagangannya, keluhan ibu-ibu, tangisan anak-anak balita memecah heningnya kereta pagi itu, mengalahkan alunan mesin khas kereta.

Setelah sekitar dua setengah jam perjalanan, akhirnya rombongan sampai di Stasiun Rangkas Bitung. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Ciboleger, kami diberi waktu untuk makan siang (sarapan - red) sambil menunggu teman-teman yang ketinggalan kereta. Ya, ada beberapa teman dari Karawang dan Bekasi yang ketinggalan kereta gara-gara si oknum yang telat bangun pastinya. Haha. Sepertinya cerita mereka bakal lebih seru.

Stasiun Rangkas Bitung, Lebak, Banten

Istirahat dirasa cukup, perut sudah kenyang, meskipun aku dan Rian tak makan juga lantaran kami berdua sudah meraup secuil roti, sedangkan para laters pun sudah datang. Kami pun segera melanjutkan perjalanan ke Ciboleger menggunakan mobil elf. Perjalanan dari Rangkas ke Ciboleger ditempuh sekitar dua jam, melewati jalanan naik dan turun. Panasnya Lebak ternyata mampu menidurkan kami, kecuali aku, karena aku duduk tepat menghadap pintu mobil jadi sedikit waswas kalau mau tidur.

Pukul 12.00 siang bolong kami tiba di Ciboleger. Patung Selamat Datang menyambut kami dengan riang. Seperti biasa kami tidak melewatkan moment untuk berfoto ria. Melihat di sekitar sudah banyak suku Baduy Luar maupun Baduy Dalam yang menunggu kami. Awalnya aku merasa mereka sangat asing, bagaimana tidak, di tengah modernitas dan perkembangan ekonomi Indonesia seperti sekarang, mereka masih sedia dan setia dengan berbagai hal yang mereka punya, termasuk baju adat yang dikenakan sehari-hari.

Patung Selamat Datang di Ciboleger

Setelah sholat, kami siap melanjutkan perjuangan bahagia. Diawali dengan doa yang dipimpin oleh Mba Wuri selaku tour leader kami, teman-teman cewe yang sudah menemukan porternya masing-masing, lalu bergegaslah kami menuju Desa Cibeo dimana suku Baduy Dalam tinggal.

Perjalanan menuju Cibeo ternyata tidaklah mudah, kami harus melewati jalanan batu, bukit yang terjal, turunan, serta sungai-sungai dengan jembatan bambu. Bagiku sendiri perjalanan kali ini cukup berat, selain aku membawa beban yang cukup berat di punggung, yaitu tas yang berisi bekal dan sedikit buah tangan untuk tuan rumah, juga karena kesalahan yang aku dan Rian lakukan. Ya, kami tidak makan terlebih dahulu, hanya sepotong roti yang kami berdua santap di pagi hari sebelum berangkat ke Stasiun Duri. Untungnya cuaca hari itu sangat bersahabat. Alam menunjukkan keramahannya, tanpa terik matahari yang menyengat, tapi langit tetap cerah.

Seperempat panjang perjalanan akhirnya mampu aku lalui, tak disangka aku masuk dalam hitungan orang yang berada di garda terdepan. Sambil melanjutkan perjalanan tak lupa aku mengabadikan setiap moment sebelum memasuki area terlarang untuk mengambil gambar. Hutan lebat, bukit-bukit, jembatan bambu, rumah-rumah gubug yang tertata rapi, serta anak-anak yang bermain ceria di sekitar rumah menjadi pemandangan yang serasa tak akrab lagi bagiku. Sejenak aku jadi teringat masa kecilku dulu, saat bermain dengan kawan-kawan sebaya di kampung, memanfaatkan tanah lapang untuk bercengkerama menghabiskan waktu sore hingga petang tiba. Mereka, anak-anak itu, begitu lincah dan polos, bermain bersama alam, tanpa gadget yang sekarang sedang menjajah masa kanak-kanak di perkotaan.

Hampir mendekati perbatasan antara Baduy dalam dan Baduy luar akhirnya Rian berhasil menyusul kami setelah sebelumnya sempat tertinggal. Karena merasa kelelahan, Rian memintaku untuk menemaninya beristirahat sebentar. Tapi justru karena hal itu, kami jadi terpisah dengan rombongan dan tertinggal cukup jauh. Kami berdua berusaha mengejar, dan di tengah perjalanan kami menemukan jalan bercabang yang kami tidak tahu harus mengambil jalur yang mana. Terdapat beberapa gadis Baduy luar yang kami tanyai pakai bahasa Indonesia, lagaknya mereka sedikit kebingungan, kami berdua pun demikian karena kami tidak bisa berbahasa sunda. Namun setelah menunggu beberapa saat, mereka pun memberikan arahan. Di depan pun terdapat seorang bapak-bapak yang dengan keramahannya menunjukkan jalan. Dan kami pun berhasil bergabung dengan tim garda terdepan lagi.

Naik turun bukit membuat energi kami terkuras cukup banyak. Air minum yang dibawa mulai berkurang, terlebih aku hanya membawa air berukuran 600 ml. Dan ternyata setelah memasuki area Baduy dalam, jalan terekstrim menanti di depan. Disebutlah ia sebagai Tanjakan Cinta, tanah yang menjulang ke atas dengan panjang sekitar 50 meter. Beuh, rasanya napas serasa tinggal sepenggal. Namun, semangat itu yang akhirnya membuat kami semua sanggup melewatinya. Di tengah pendakian melewati Tanjakan Cinta, kami merenungi makna filosofi di balik nama tanjakan itu. Salah satu teman nyeletuk, “Makan tuh Cinta”. Kemudian tawa memecah suasana. Setelah melewati Tanjakan Cinta, kami beristirahat sebentar. Aku mengeluarkan bekal dari dalam tas, sebungkus kurma. Rasa manis kurma ternyata mampu menjadi doping bagi kami. Energi kami mulai terisi kembali. Memang benar ya rahasia buah nabi ini, sangat luar biasa.

Kini jalanan berbukit-bukit sudah berhasil kami lewati. Di depan, berjajar rapi gubug-gubug kecil yang difungsikan untuk menyimpan padi, mereka menamainya dengan Leuit, disampingnya terdapat pemakaman yang sengaja dibiarkan tidak terawat. Dalam mengurus orang meninggal, terdapat kesamaan antara Baduy Dalam dengan umat Islam, terutama dalam menguburkan jenazah. Jenazah dikuburkan dan dihadapkan ke arah kiblat. Mereka juga mempunyai aturan untuk tidak merawat makam, membiarkannya kembali seperti alam sehingga bisa dimanfaatkan lagi untuk pemakaman berikutnya. Tidak ada ritual 3, 7, 40, atau 100 harian. Bagi mereka amalan dan hubungan seseorang akan terputus setelah dirinya meninggal.

Setelah melewati leuit-leuit, akhirnya kami sampai di Desa Cibeo, tempat suku Baduy dalam tinggal. Sebenarnya terdapat 3 desa di area Baduy dalam, mereka adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Cikeusik terkenal dengan pusat keagamaan, Cikertawana terkenal sebagai pusat pengobatan, dan Cibeo sendiri terkenal sebagai pusat pertanian.  Kami bermalam di Cibeo, mungkin dengan alas an paling mudah dijangkau sehingga kami tinggal di desa tersebut. Tapi bayangkan saja, untuk mencapai Cibeo yang notabene jaraknya paling dekat dengan Baduy luar saja, paling cepat kita membutuhkan waktu 3 jam. Apakabar Cikertawana dan Cikeusik?

Aku termasuk salah satu dari beberapa orang yang sampai duluan di Cibeo (lebih tepatnya aku tidak menghitung jumlahnya). Sayangnya, aku bukan yang pertama, karena ada Rizal dan Mas Agus di depanku. Padahal aku berharap bisa menjadi orang pertama dalam kelompok yang menginjakkan kaki di perkampungan Baduy Dalam. Tapi paling tidak aku termasuk dalam garda terdepan.

Sekarang kami berada di area terlarang bagi teknologi, handphone dan segala macamnya harus dimatikan, tidak ada lampu serta televisi, bahkan tidak ada pasta gigi dan sabun untuk mandi. Sambil menunggu anggota rombongan kami yang tertinggal di belakang, kami beristirahat dan mencuri start bercengkerama dengan warga. Kesan pertama terhadap Cibeo, sepi dan tenang.















2 komentar:

  1. Keren ya Indonesia punya Baduy, moment jamur berpendar tak pernah akan dilupakan hahaha. Mas Agus bilang hanya ada 2 spesies jamur berpendar di Indonesia dan saya beruntung dapat menikmati salah satunya.

    BalasHapus
  2. Aku berasa di film2 malam itu, sumpeh, keren abizz. Subhanallah :D

    BalasHapus