Selasa, 03 Juni 2014

Membuncahkan Semangat dari Guha Bahu


Pangandaran, 31 Mei – 1 Juni 2014

Sudah lama rasanya aku tidak melakukan travelling. Selama di Jakarta, paling jauh tempat yang aku kunjungi ialah Anyer, itupun gegara perjalanan dinas dan tidak mampir ke pantainya. Selebihnya paling hanya main-main ke mall, Pantai Ancol, dan Monas. Padahal raga dan pikiran sudah letih dengan rutinitas kerja.

Aku bersyukur selama di Jakarta masih dikelilingi orang-orang yang baik hati, setelah kecewa menolak ajakan Mas Abra ke Bromo, ada si Dana yang mengajakku bergabung dengan kawan-kawan kampusnya ke Pangandaran. Kali ini aku diajak untuk merasakan Body Rafting ke Guha Bahu, Cukang Taneuh, Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.

Sedikit mengulas tentang Guha Bahu. Gua ini merupakan gua di pinggir ngarai yang terbentuk dari stalaktit. Guha Bahu berada satu area dengan wisata Green Canyon Pangandaran. Awalnya aktivitas wisata di Cukang Taneuh atau Green Canyon ini hanya sekedar menumpang perahu menyusuri sungai Cijulang menuju area terluar gua yang berupa susunan batu-batu besar. Sesampainya di area tersebut, wisatawan diijinkan untuk bermain air melawan arus air. Namun, akhir-akhir ini sudah dibuka arena wisata baru yaitu body rafting dimana pengunjung dibawa ke hulu menggunakan mobil bak terbuka kemudian menyusuri sungai dari hulu sampai ke hilir.

Jumat siang aku berpamitan dengan mentorku, Ms.Elizabeth, yang memang sehari sebelumnya aku sudah meminta ijin untuk pulang lebih awal di hari itu. Untungnya aku mendapatkan mentor yang selain baik, juga mempunyai hobi yang sama, jadi tidak perlu bersusah payah mendapatkan ijin. Bahkan sebelum aku pulang, aku diperlihatkan foto-fotonya waktu traveling ke sana. Kalau si Dana justru lebih beruntung lagi, kami mendapatkan manajer yang super baik, di hari kecepit itu dia diperbolehkan ijin cuti.

Pukul 3.30 sore Dana menjemputku di kos. Meeting point kali ini berada di Masjid Terminal Kampung Rambutan Jakarta Selatan yang jaraknya cukup lumayan dari Sudirman meskipun sama-sama di Jaksel. Itulah sebabnya aku ijin pulang duluan, sebab kami harus sampai di terminal sebelum jam tujuh. Tahu sendiri macetnya Jakarta seperti apa. Sejam menunggu busway tidak ada yang datang karena jalurnya penuh dengan mobil, yang paling ngeselin adalah melihat sebuah mobil polisi yang juga ikut-ikutan menjajah jalur busway. Hampir hopeless kami memutuskan untuk naik ojek, tapi karena harga tawar yang cukup tinggi kami mengurungkan niat, mencapai 80.000 rupiah seorang. Akhirnya tepat jam lima kami menemukan bus AC70 jurusan Tanah Abang – Kampung Rambutan, hanya dengan 9.000 rupiah dalam waktu satu jam kami sudah sampai di depan terminal.


Kondisi hujan membuat kami sedikit gusar, bingung menemukan area terminal. Kami memutuskan untuk menumpang sholat di Masjid Kodim. Setelah sholat, kami segera menuju ke area terminal mencari masjid tempat kami janjian. Di sana rupanya sudah hadir dua orang, Ayu dan Ari. Sambil menunggu kedatangan yang lain, kami mencari makanan di sekitar masjid.

Setelah semua datang, termasuk tour leader kita, Ucup (tentu tahulah nama aslinya siapa), kami segera menuju bus yang akan membawa kami ke Pangandaran. Untuk masuk area bus, kami harus membayar biaya retribusi sebesar 2.000 rupiah (per kepala) tanpa karcis kepada seorang bapak berseragam Dishub. Just info, Pangandaran adalah kabupaten baru pemekaran dari Kabupaten Ciamis. Untuk menuju Pangandaran kami menggunakan bus Gapuraning Rahayu dengan biaya 85.000 rupiah yang dibayarkan di tempat dan 9 jam perjalanan. Karena sudah terlalu lelah, perjalanan malam itu dihabiskan dengan tertidur pulas.

Jam setengah enam pagi kami sudah sampai di Alun-Alun Pangandaran, menjalankan sholat subuh kemudian segera menuju Cijulang karena mobil jemputan sudah datang. Untuk menuju Cijulang kira-kira membutuhkan waktu sekitar satu jam.

Sesampainya di Green Canyon, Cijulang, kami segera sarapan lalu ganti kostum. Life jacket, sandal gunung, helm, serta deker sudah siap dikenakan. Setelah semua perlengkapan rafting terpasang di badan, selanjutnya Mas Borax memberikan safety induction dan memimpin doa. Dua buah mobil pickup siap mengantarkan kami ke hulu Sungai Cijulang. Namanya Cijulang, tanahnya menjulang, cukup ekstrim saat naik dengan mobil pickup ini. Dan ini baru permulaan.

Untuk mencapai area sungai kami harus jalan terlebih dahulu, melewati track khas daerah aliran sungai, bebatuan dan tanah yang licin. Medan pembuka yang cukup menarik, jadi teringat saat susur sungai di Curug Sewu Semarang. Sesampainya di Guha Bahu kami terdecak kagum melihat gua indah di depan mata, sayangnya tumpukan sampah pengunjung sedikit mengerutkan dahi. Di awal perjalanan adrenalin kami sudah ditantang, lompat dari batu berketinggian 2 meter. Bagi kami ini tantangan yang seru. Kebetulan kami termasuk tim yang pemberani, jadi kalau cuma 2 meter, semua bisa lulus ujian tahap ini.

Keseruan lain masih banyak menanti di depan, yang intinya sama, lompat dari ketinggian hanya tingginya saja yang berbeda-beda. Selebihnya kami mengarungi sungai Cijulang yang indah ini, menikmati airnya yang hijau, kanan kiri penuh pohon nan rimbun, ditambah warna langit yang biru cerah, semua berpadu memberikan lukisan yang cantik. Tidak salah kalau tempat ini dinamakan Green Canyon. Inilah Indonesia, tanah air beta yang sesungguhnya.

Tak jauh jaraknya dari area tantangan pertama, tantangan kedua ialah lompat dari batu berketinggian 5 meter. Kali ini satu per satu mulai melipir, termasuk aku. Hanya Very, Dana, Ucup, Ical, Opi, dan Yufi yang berani melewatinya. Sebagai cowo aku merasa malu kalah dengan gadis-gadis itu. Tantangan berikutnya ialah Water Blander. Kalau kamu pernah trauma dengan sesak napas, aku sarankan untuk mencobanya. Haha. Sebenarnya kita hanya cukup lompat dari batu berketinggian tak lebih dari dua meter saja, tapi setelah itu kita akan terbawa arus yang sangat deras, terbawa ke dasar air, dan berputar-putar serasa dimasukkan ke dalam blender selama sekitar 5 detik saja. Bagaimana rasanya? Tanyakan padaku secara langsung sensasinya. Seperti tantangan sebelumnya, banyak yang akhirnya menyerah sebelum bertanding dalam arena ini. Tantangan terakhir dan yang paling seru ialah lompat dari batu berketinggian tujuh meter. Kali ini tak banyak yang berani, hanya aku, Very (lagi-lagi dia menjadi orang pertama dalam tim yang berani lompat), Ucup, Ical, Ichsan, Dana, dan Yufi. Yufi menjadi satu-satunya cewe yang berani mengambil resiko keren ini. Tadinya ada si Opi, tapi yang bersangkutan kemudian mengurungkan diri karena kelamaan nyangkut di batu. Untuk tantangan yang satu ini cukup unik, sebab sekali kau sudah mengambil keputusan kau harus menjalaninya. Filosofinya cukup dalam, sebab jalan untuk menuju batu 7 meter ini cukup sulit dijangkau, jadi sangat beresiko kalau mau balik lagi ke bawah. Dan akhirnya, Byuuurr, aku pun berhasil melewatinya. Suara gemuruh teriakan kawan-kawan menjadi reward bagi kami yang berhasil melewatinya.

Di akhir perjalanan kami dijemput oleh sebuah perahu. Ia yang kemudian mengantarkan kami menyusuri Sungai Cijulang, kembali menikmati keindahan Green Canyon yang luar biasa. Ada satu kejadian seru dimana perahu kecil itu hampir terbalik, sontak mengagetkan kami. Tapi selebihnya, menikmati alam Green Canyon tetap menjadi moment yang tak terlupakan.

Setelah puas menikmati Green Canyon, kami berberes untuk menuju destinasi berikutnya. Sayang, tiga rekan kami harus pulang duluan. Ichsan dan Nando karena ada acara lain yang segera menanti. Serta Yufi karena kakeknya meninggal dunia. Kabar itu baru diperolehnya saat kami semua selesai beres-beres. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, turut berduka cita Yuf, semoga Almarhum tenang di sisiNya.

Setelah mengantarkan Yufi, Ichsan, dan Nando ke shuttle bus, kami lalu menghabiskan malam di Pantai Batu Karas. Kami menyewa sebuah homestay di sana. Menikmati sunyinya pantai di malam hari. Untuk mencari makan kami harus berjalan sekitar 200 meter dari homestay, dan akhirnya kami berhasil menemukan tempat makan “kelas kita”. Kelas kita, karena memang di dekat homestay kami banyak dibuka café-café yang isinya para bule, tentu karena diisi para bule jadi kami berpikiran bahwa harga di sana cukup mahal. Selesai makan malam, kami pun kembali ke homestay untuk menikmati malam di sana sambil bercengkerama satu sama lain.

Keesokan harinya, sebelum mobil jemputan tiba, kami menyempatkan jalan ke pinggir pantai mencari sunrise. Sunrise yang kami harapkan memang tak datang lantaran tertutup gundukan tanah Batu Karas. Namun, pemandangan pagi itu sangat luar biasa, lukisan Tuhan yang Maha Agung. Langit fajar memancar indah di ufuk timur seperti berseru membangkitkan semangat pemuda-pemudi negeri seperti kami. Belum puas menikmati suasana Pantai Batu Karas, mobil jemputan sudah memanggil-manggil. Kami pun berlari dan segera kembali ke Jakarta dengan lelah yang pudar karena tawa dan kenangan indah bersama.

At Alun-Alun Pangandaran

Fajar di Pantai Batu Karas



Tidak ada komentar:

Posting Komentar